Berita

Berita terkini terkait Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah

Sejarah Panjang Pertanian Indonesia

24 October 2025 14:46

Pada 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Sensus Pertanian. Jumlah petani di Indonesia tercatat sebanyak 28.192.693 orang. Dari jumlah itu, sekitar 4.630.807 orang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Artinya, sekitar satu dari enam petani Indonesia berasal dari kedua wilayah ini. Angka ini tentu tidak hadir begitu saja tetapi memerlukan proses yang panjang. Lantas bagaimana jejak panjang pertanian di wilayah ini?

foto 1Menanam padi setelah digunakan untuk tebu di Pabrik Gula Sewoe Baloer

Sumber: nationaalarchief.nl

 

Apa Itu Tani?

Sebelum lebih jauh membahas mengenai sejarah tani, perlu diketahui apa arti dari kata “tani”. Menurut KBBI VI, tani adalah kegiatan bercocok tanam yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara menurut BPS, petani adalah mereka yang melakukan usaha pertanian di bidang tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan/atau peternakan. Jadi dapat dikatakan bahwa tani adalah bentuk kegiatan yang berkaitan dengan tanam-menanam dan peternakan yang tidak terbatas pada satu komoditi saja. Namun dalam persepsi masyarakat masa kini, kata “tani” seringkali hanya diasosiasikan dengan menanam padi. Memang, padi merupakan salah satu komoditi pangan penting bagi masyarakat Jawa. Seperti yang diungkapkan oleh Sejarawan Peter Boomgaard mencatat, pada rentang tahun 1500–1800, padi memang menjadi salah satu komoditas terpenting di Nusantara, meskipun tidak di seluruh wilayah (Boomgaard, P., 2003: 582) Maka dari itu, mari melihat berbagai perkembangan pertanian di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

 

Masa Pra Hindu-Budha: Kapak Batu dan Awal Pertanian

Sejarah panjang pertanian di Jawa dapat ditelusuri hingga masa pra Hindu-Budha. Di wilayah Yogyakarta misalnya ditemukan relik kapak batu yang diperkirakan digunakan dalam aktivitas bercocok tanam. Temuan ini menjadi indikasi awal adanya kegiatan agraris di kawasan tersebut (Romli, Inajati Adrisijanti dan Anggraeni, 2006: 86). Artefak-artefak semacam ini menunjukkan bahwa manusia Jawa purba sudah mengenal berbagai modal teknis untuk mengolah lahan.

 

Masa Hindu-Buddha

Memasuki era Hindu-Buddha, tradisi agraris mendapat legitimasi kultural dan religius. Di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 ditemukan relief berbagai jenis tanaman. Tanaman yang terlihat dari relief Candi Borobudur ini antara lain jambu air, damar, kelapa, mangga, pisang, sukun, teratai, nyamplung, lotus, lontar, kecubung, keben, karet merah, duku, dadap, bodhi, beringin cina, angsana, asoka dan ketanpang (Puspitasari, Dian Eka., 2021: 65-66). Representasi ini menunjukkan keragaman komoditas agraris sekaligus memperlihatkan bagaimana pertanian menyatu dengan religiusitas masyarakat Jawa kuno (Puspitasari, Dian Eka., 2021: 63). Relasi antara simbol, agama, dan pertanian memperkuat fondasi budaya agraris yang masih terasa hingga kini. Sedangkan di Yogyakarta, Kompleks Candi Barong, ditemukan arca Dewi Sri yang menjadi lambdewi kesuburan. Arca Dewi Sri ini memegang setangkai padi di tangan kirinya. Kehadiran arca ini melambangkan pentingnya padi sebagai sumber kehidupan masyarakat Jawa masa Hindu-(Puspitasari, Dian Eka., 2021: 87).

Foto 2

Sawah di Jogja sekitar tahun 1949

Sumber: nationaalarchief.nl

 

Masa Kolonial: Tekanan dan Perubahan Sosial

Struktur agraris masyarakat Jawa berubah drastis pada masa kolonial. Petani mengalami transisi dari pertanian subsisten menuju pertanian komersial. Kebijakan kolonial menempatkan petani pada posisi terhimpit, seperti di Vorstenlanden, di mana mereka harus membayar pajak kepada pemerintah kolonial sekaligus kerajaan lokal (Wahid, 2017: 45-46). Kondisi ini memicu pemberontakan petani di berbagai wilayah. Meskipun sistem kolonialisme menekan petani, tetapi setelahnya mereka mulai mengembangkan perkebunan kecil di lahan bekas tanam paksa dan menjual hasilnya ke pasar. Perputaran ekonomi ini mengubah gaya hidup petani pribumi, dari mengenal sepeda, mesin jahit, hingga perabotan modern, meski juga memunculkan praktik perjudian dan sabung ayam (Purwanto, 2008). Krisis 1930-an semakin memperparah penderitaan petani, sejajar dengan terpukulnya perkebunan kapitalis.

 

Serat Jawa

Dalam sastra Jawa, petani ditempatkan pada posisi luhur. Seperti pada Serat Mitraning Among Tani menekankan ketekunan, kesabaran, dan sikap nrimo sebagai jalan hidup petani. Dalam serat ini, pertanian tidak hanya dipandang sebagai aktivitas ekonomi, tetapi juga sebagai praktik spiritual antara manusia, tuhan dan alam. Selain itu, Serat Jayabaya Pinardi juga menekankan peranan petani dalam menjaga keseimbangan alam (Prabowo, 2019, hlm. 59). Dalam serat Jayabaya Pinardi, menjelaskan berbagai mekanisme pertanian yang menekankan pentingnya ekosistem alam. Hal yang dibahas dalam serat Jayabaya Pinardi mulai dari mempersiapkan media tanam (membajak sawah) hingga menyimpan padi di lumbung. Berbagai kegiatan tani yang dipaparkan ini menekankan pengelolaan ekosistem tanpa bahan kimia, serta menegaskan bahwa petani adalah sosok yang penuh rasa syukur, telaten, dan religius.

 

Tradisi Wiwitan

Masyarakat Jawa juga mengenal tradisi wiwitan, ritual yang menandai awal dari rangkaian panen. Kata wiwit berarti “mulai” yang menandakan memulainya tahapan panen. (Prasetyo, D., & Puspytasari, H. H., 2021: 802).  Ritual wiwitan merupakan bentuk syukur kepada alam sekaligus penghormatan terhadap Dewi Sri. Dalam tradisi ini, disediakan berbagai sesaji, seperti nasi tumpeng, ayam ingkung, kembang tujuh rupa, telur ayam, pisang, dan jajanan pasar (Prasetyo, D., & Puspytasari, H. H., 2021: 804). Tradisi Wiwitan hingga kini masih sering ditemukan namun telah mengalami penyederhanaan dalam rangkaiannya.

 

UUPA 1960 dan Hari Tani Nasional

Setelah kemerdekaan, pemerintah berupaya mengakhiri dualisme hukum tanah kolonial melalui UUPA 1960. Tiga tahun kemudian, Keputusan Presiden No. 169/1963 menetapkan 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Peringatan ini menjadi simbol pengakuan negara terhadap petani sebagai penopang bangsa dan pilar ketahanan pangan.

 

Penutup

Jejak panjang pertanian di Nusantara menunjukkan kesinambungan perjuangan petani.  Mulai dari kapak batu prasejarah, simbol Dewi Sri, tekanan kolonial, nilai luhur dalam serat, hingga pengakuan melalui UUPA dan data BPS saat ini, petani tetap memegang peranan penting dalam menopang pangan nasional. Maka dari itu, hari tani tidak hanya menjadi peringatan simbolik, tetapi juga momentum untuk memperjuangkan kesejahteraan petani yang telah menopang peradaban bangsa sejak ribuan tahun lalu.

 

Daftar Pustaka 

Boomgaard, P. (2003). In the Shadow of Rice: Roots and Tubers in Indonesian History, 1500-1950. Agricultural History, 77(4), 582–610. https://www.jstor.org/stable/3744936

Puspitasari, D. E. E. (2021). Klasifikasi dan jenis tanaman pada halaman bangunan suci dalam relief Candi Borobudur. Jurnal Konservasi Cagar Budaya, 15(2), 59-78.

Prasetyo, D., & Puspytasari, H. H. (2021). Nilai-Nilai Hukum Adat Dan Kepercayaan Masyarakat Pada Tradisi Wiwitan. In Prosiding Conference on Research and Community Services (Vol. 3, No. 1, pp. 799-809).

Romli, Inajati Adrisijanti dan Anggraeni. (2006). Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.

Wahid, A. (2017). Dualisme Pajak di Jawa: Administrasi Pajak Tanah di Wilayah Vorstenlanden pada Masa Kolonial, 1915–1942. Lembaran Sejarah, 13(1), 28-47.

Prabowo, D. P. (2019). Kebudayaan (Tani) Jawa sebagai Sumber Nilai Ekologi. Jantra, 14(1), 55-64.

Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 - Tahap I. Diakses dari https://www.bps.go.id/id/publication/2023/12/15/def0edfb13a6b16411ec8c80/hasil-pencacahan-lengkap-sensus-pertanian-2023 

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 169 Tahun 1963 Tentang Hari–Tani

Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

 

 

Kontributor :

  • Indra Fibiona
  • Savira Nurul Hidayah

 

 

 

 

 

 

 

Kategori Berita dan Pengumuman
Hubungi Kami
hubungi bpcb jateng
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X
  • Jalan Yogya-Solo Km.15, Bogem, Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571

  • bpk.wil10@kemenbud.go.id

  • -

  • (0274) 496019, 496419, 496413, 373241, 379308

Statistik Pengunjung