Berita

Berita terkini terkait Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X

Batik dalam Koloniale Tentoonstelling Semarang 1914

10 November 2025 13:29

Tahukah kamu, 111 tahun yang lalu, batik pernah ditampilkan dalam pameran kolonial di Semarang? tepatnya pada tahun 1914, batik tampil sebagai kerajinan lokal tanah kolonial didalam Koloniale Tentoonstelling Semarang.

Setiap tanggal 02 Oktober, Indonesia memperingatinya sebagai hari batik nasional. Hari batik ini didasari dari pengakuan UNESCO pada tahun 2009, yang menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Adanya pengakuan ini diikuti dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009, mengesahkan tanggal 2 Oktober sebagai hari batik nasional.  Penetapan ini tidak hadir begitu saja tetapi dilalui dengan proses yang panjang mengingat kerajinan batik ini telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Dimulai dari kerajinan yang menunjukan status sosial karena hanya dapat diakses oleh sebagian kelas hingga kini batik menjadi trend fashion.

Sebelum menelusuri bagaimana batik dipamerkan dalam Koloniale Tentoonstelling Semarang 1914, perlu kita pahami beberapa pengertian dasar mengenai batik. Batik berasal dari kata amba (menulis) dan nitik (titik) yang berarti membuat rangkaian titik-titik (Marzuqi, Ahmad,2015: 9), Sedangkan dalam KBBI, batik diartikan sebagai kain bergambar yang dalam pembuatanya dibuat dengan cara menuliskan atau menerakan malam pada kain. Jadi, batik bisa dimaknai sebagai seni menggambar dalam kain dengan menggunakan malam. Lantas bagaimana batik dipamerkan pada pameran kolonial Semarang?

Batik di Koloniale Tentoonstelling Semarang 1914

Koloniale Tentoonstelling Semarang merupakan sebuah pameran kolonial yang memamerkan kemajuan ekonomi, teknologi, industri dan hasil bumi yang diadakan pada 20 Agustus-22 November 1914 di Pieter Sijthoffland atau yang sekarang dikenal dengan Jalan pandanaran Semarang (Hamdah, Afrida dan Nanda Julian Utama, 2025:153). Acara ini bertujuan untuk menunjukkan kemajuan di daerah koloni serta memperingati 100 tahun diperolehnya kemerdekaan Belanda dari Perancis (Hamdah, Afrida dan Nanda Julian Utama, 2025:151)

Gambar

Gerbang masuk Pameran Kolonial di Semarang

Sumber: KITLV, http://hdl.handle.net/1887.1/item:809932

 

Dalam pameran yang menampilkan kemajuan ekonomi, teknologi dan industri ini, batik tampil sebagai salah satu produk lokal. Batik dipamerkan dalam berbagai paviliun baik berdasarkan daerah penghasil, pemilik industri dan kategori jenis kerajinan. Pembagian stan pameran inipun menyebabkan lokasinya berbeda-beda tetapi menciptakan karakteristik motif batik yang membedakan antar kategori. Namun, stand batik yang paling besar berada pada paviliun Kampoeng Toekang.

Di paviliun Kampoeng Toekang, kerajinan batik diberikan tempat sejumlah 5 stand dari 35 stand yang ada (van Heel, M.G., 1919:199). Bahkan batik ditampilkan di urutan stand awal yakni dari nomor 1 hingga 5. Di stand batik ini, pengunjung bisa menyaksikan proses pembuatan batik secara langsung baik pada batik tulis maupun cap. Proses tersebut antara lain pewarnaan, perebusan kain dan pengukiran pada alat batik cap.

Gambar

Seorang pembatik di Kampung Tukang pada Pameran Kolonial di Semarang

Sumber: KITLV, http://hdl.handle.net/1887.1/item:809086

 

Selain itu, di paviliun Kampoeng Toekang, ditampilkan demonstrasi wanita yang sedang membatik. Demonstrasi ini dilakukan di tengah lahan tanpa atap. Perempuan pembatik duduk di tengah lapang dengan tangan kiri berada di belakang batik sebagai alas tumpuan kain dan tangan kanan memegang canting untuk menggoreskan malam pada kain. Adanya demonstrasi ini memberikan gambaran bagaimana batik diproduksi di tanah Jawa.  Alat yang ditampilkan dalam demonstrasi inipun cukup lengkap meliputi kain batik yang dibentangkan di atas gawangan (alat untuk membentangkan kain dalam proses membatik), canting (alat untuk menggoreskan malam pada kain), wajan dan tungku (sebagai pemanas malam).

Selain di paviliun Kampoeng Toekang, batik juga hadir di berbagai paviliun khusus daerah yang masuk dalam bagian De Inlandsche Afdeeling. Di dalam paviliun ini, setiap daerah menampilkan produk ekonomi, sosial dan budayanya. Sehingga batik hadir di beberapa paviliun daerah Solo, Jogja, dan Surabaya dengan ciri khas tersendiri. Di paviliun Solo misalnya, ditampilkan batik yang memiliki ciri khas berupa berwarna gelap, dan batik emas (van Heel, M.G., 1919:182). Kemudian, paviliun Jogja juga memamerkan batik khas Jogja. Tidak disebutkan lebih jauh bagaimana ciri khas batik Jogja yang dipamerkan dalam pameran ini. Namun, secara umum batik khas Jogja memiliki ciri berupa pola geometri yang cenderung lebih besar dengan ornamen dominan parang dan nitik serta warna batik yang dominan biru tua, putih dan soga coklat kemerahan (Priyono, Umar, 2023: 26). Selain itu, terdapat paviliun Surabaya yang juga menampilkan karya batik dari Lasem (van Heel, M.G., 1919:187)

Gambar

Pavilion Solo di De Inlandsche Afdeeling

Sumber: Van Heel, M.G. (1916). Tanpa halaman.

 

Menariknya, batik tidak hanya dipamerkan di paviliun lokal saja, tetapi juga dipamerkan di paviliun berbau koloni. Di aula gedung B yang memamerkan industri di bawah manajemen Eropa, batik hadir di stand Mevrouw E. van Zuylen dari pekalongan dan Njonja The Wie Nie Nio (van Heel, M.G., 1919:155). Keduanya merupakan pengusaha Belanda dan Tionghoa. Memang di daerah pesisir batik juga terpengaruh budaya barat dan Cina. Bahkan dalam buku Bersinergi Dalam Keistimewaan Peranan Bank Indonesia Dalam Pembangunan Ekonomi Yogyakarta, disebutkan di Batavia, 90% industri batik berada pada kendali orang Cina pada tahun 1920. Hal ini berbeda dengan wilayah Yogyakarta, dimana pengusaha batik lokal di Yogyakarta lebih bisa menahan ekspansi pengusaha Tionghoa terhadap industri batik (Wahid, Abdul (ed), 2020:37).

Industri batik yang menjadi salah satu penopang ekonomi Cina ini menyebabkan Batik juga menjadi bagian pameran di paviliun Cina yang tergabung dalam karya industri lokal (van Heel, M.G., 1919:218). Batik dengan nuansa Cina banyak ditemukan di kawasan Lasem. Batik di kawasan Lasem ini menghadirkan batik dengan ciri khas warna yang cerah. Warna cerah pada kain batik Cina Lasem antara lain campuran merah, kuning dan hijau. Selain warna, pola batik juga lebih ramai jika dibandingkan dengan batik kawasan mataraman (Java Instituut:11).

Batik yang dipamerkan oleh Mevrouw E. van Zuylen dari pekalongan di Koloniale Tentoonstelling Semarang 1914 juga menjadi salah satu bukti bahwa di Pekalongan, batik bercampur dengan kebudayaan Belanda. Hal ini disebutkan dalam Batikwerd Tentoonstelling door het Java Instituut, bahwa batik Pekalongan banyak terpengaruh Belanda baik dalam pola maupun warna (Java Instituut:11). Karya batik hasil industri Eropa tentu mengadopsi kebudayaan Eropa sehingga menghasilkan motif khas tersendiri dengan komposisi warna yang cerah.

Selain dipamerkan dalam berbagai paviliun lokal, timur asing, maupun kolonial,  batik juga digunakan untuk menghiasi dinding pameran, dimana batik masuk dalam kelompok 3 dari 12 kelompok yang dipamerkan (van Heel, M.G., 1919:189). Pameran ini berfokus pada koleksi seni dan kerajinan lokal. Salah satu batik yang dipamerkan pada pameran ini sebagai berikut;

Gambar

Salah satu batik yang dipamerkan dengan keterangan Oude gebatikte doek

(op eigen ruw katoenen weefsel) patroon wit op blauw. Tanpa halaman.

 

Dari pameran kolonial Semarang 1914, bisa dipahami bahwa batik mendapatkan posisi dalam industri lokal maupun asing. Batik dipamerkan tidak hanya sekedar bahan pajangan saja tetapi hadir lewat demonstrasi di paviliun Kampoeng Toekang, identitas kultural paviliun daerah Solo, Yogya dan Semarang serta akulturasi yang tampil di Industri Eropa-Cina. Namun, dalam perjalanannya industri batik mengalami pasang surut akibat kolonialisme. Kolonialisme sempat menggeser kepemilikan industri batik, tetapi disisi lain menyebabkan variasi motif dan warna pada kain batik. Dengan begitu, batik tampil sebagai identitas kultural, tradisi dan industri dalam satu panggung pameran. Kini, batik tidak lagi mencerminkan status sosial yang hanya dapat dipakai pada acara tertentu, tetapi kini menjadi warisan Bangsa Indonesia yang terus dikembangkan.

 

Daftar Pustaka

Van Heel, M.G. (1916). Gedenkboek van de Koloniale Tentoonstelling Semarang 20 Augustus- 22 November 1914: Deel II. Batavia: Mercurius.

Wahid, Abdul (ed). (2020). Bersinergi Dalam keistimewaan Peran Bank Indonesia Dalam Pembangunan Ekonomi Yogyakarta.  Jakarta: Bank Indonesia Institute.

Java Institute. Batikwerk Tentoonstelling door het Java Instituut. Tanpa Tahun

Priyono, U. (2015). Buku Profil Yogyakarta, City of Philosophy. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hamdah, Afrida dan Nanda Julian Utama. (2025), Roofless Space: Indigenous Engagement in The Semarang Colonial Exhibition, 1914. Dalam jurnal Pendidikan Sejarah, 12(2).Hlm. 149-164.

Marzuqi, Ahmad. (2015). “Penciptaan Motif Batik Sebagai Ikon Kabupaten Lumajang”. Skripsi.  Surabaya: Fakultas Teknologi dan Informatika, STIKOM Surabaya.

De ingangspoort van de Koloniale Tentoonstelling te Semarang. Diakses darihttp://hdl.handle.net/1887.1/item:809932

Een batikster in Kampong Toekang op de Koloniale Tentoonstelling te Semarang. Diakses dari http://hdl.handle.net/1887.1/item:809086

 

Kontributor : Indra Fibiona

Kategori Berita dan Pengumuman
Hubungi Kami
hubungi bpcb jateng
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X
  • Jalan Yogya-Solo Km.15, Bogem, Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571

  • bpk.wil10@kemenbud.go.id

  • -

  • (0274) 496019, 496419, 496413, 373241, 379308

Statistik Pengunjung