Berita
Berita terkini terkait Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X
Menelusuri Ulang Candi Singo dan Kalongan Lewat Sumber Tertulis
17 November 2025 13:42
Candi merupakan sebuah bangunan yang sudah berusia ratusan tahun. Bahan dasar yang berupa batu memang menampilkan kesan bahwa candi ini bisa awet. Namun sejumlah fakta menunjukkan sejumlah hasil yang berbeda. Sejumlah laporan dari abad ke-19, dari masa penguasaan Inggris hingga Hindia Belanda menunjukkan bahwa candi bisa rusak maupun runtuh. Membaca tulisan dari Colin Mackenzie, J.F.G. Brumund, J. Munnich hingga J. W. Ijzerman menunjukkan perkembangan dari masa ke masa kondisi bangunan sejumlah candi. Mereka menulis tentang kondisi candi di sejumlah wilayah. Ditulis dari masa yang berbeda, justru menunjukkan keadaan candi tersebut pada tahun tahun tertentu. Bisa jadi, sebuah candi masih bisa dijumpai oleh peneliti sebelumnya. Namun tidak lagi dijumpai oleh peneliti yang datang beberapa tahun sesudahnya. Misalnya candi yang ada di Kawasan Siwa Plateau, ada yang sempat dijumpai J.F.G. Brumund (berkunjung setelah perang Jawa, awal abad ke-19). Tetapi, candi ini sudah hilang jejaknya ketika J.W. Ijzerman datang (berkunjung sekitar akhir abad ke-19).
Salah satu fenomena yang terjadi itu dialami oleh Candi Singo. Sebuah candi yang saat ini hanya dijumpai sebagai toponimi dari sebuah dukuh di Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman. Dalam catatan Belanda, candi Singo pertama kali disebut oleh J.F.G. Brumund dalam Indiana. Verzameling van stukken van onderscheiden aard, over Landen, Volken, Oudheden en Geschiedenis van den Indischen Archipel Jilid II (1854). Brumund mengunjungi sejumlah candi di kawasan sekitar dari candi Singo. Kala itu, Brumund menyebut bahwa Candi Singo tidak bisa dilepaskan dari 2 candi lain yaitu Candi Keblak dan Gadjah. Keduanya disebut dengan nama yang berbeda oleh Ijzerman dalam bukunya yang berjudul Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891). Ijzerman menyebut dua candi lain tersebut sebagai Candi Keblak dan Bubrah. Candi Gadjah, Keblak dan Singo disebut oleh penduduk sekitar sebagai tiga Candi Jobohan. Entah kenapa pada masa itu masyarakat sekitar menyebut ketiganya sebagai satu rangkaian. Saat ini masyarakat sudah tidak lagi mengenal istilah dari Candi Jobohan tersebut. Sama dengan Candi Singo, sebenarnya kedua candi lain, Keblak dan Bubrah sudah tidak lagi ditemukan jejaknya.
Sisi menarik dari Candi Singo yang lainnya adalah deskripsi Brumund yang dibuat kala mengunjunginya. Brumund yang saat berkunjung ke lokasi lokasi tersebut dipandu oleh Tuan Lichte, pemiliki perkebunan di Tanjung Tirto. G.P.J. Lichte ini disebut Vincent J.H. Houben dalam bukunya Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 (2017) sebagai penerjemah Bahasa Belanda. Penerjemah yang bertugas sementara di Karesidenan Yogyakarta pada tahun 1841-1847. Rumah perkebunannya bahkan menjadi lokasi dari pemindahan sejumlah temuan di Kawasan Dataran Sorogedug. Termasuk sejumlah arca dari Candi Keblak. Deskripsi dari Brumund ini menjadi satu – satunya data sejarah tentang eksistensi dari Candi Singo. Setelah kunjungan Brumund, tidak ada lagi orang yang memuat deskripsi lengkap dari kondisi candi ini saat masih berdiri. Kala itu, Candi Singo disebut memiliki kemegahan, tidak kalah dibanding Candi Keblak. Candi Singo disebut Brumund berada di dataran tinggi. Candi ini memiliki tinggi lima belas meter dan panjang serta lebar tujuh puluh meter. Dibangun dalam bentuk candi pada umumnya. Bujur sangkar dengan sudut-sudut yang menonjol, pintu masuknya dengan serambi depan yang menjorok jauh ke depan, menghadap ke barat. Pintu ini menuju ke sebuah ruangan, yang luasnya dua belas kaki persegi.

Peta Candi Singo dari J.W.Ijzerman
Bagian dindingnya masih berdiri setinggi dua puluh kaki. Kemungkinan kondisi aslinya bisa mencapai tiga puluh kaki. Sementara di sudut – sudut bangunan terdapat empat hiasan berupa singa. Posisinya tegak dengan masing – masing setinggi sekitar delapan kaki. Penggambaran tubuh dari Singa tersebut mampu memukai Brumund. Bagian tubuh, kaki dan cakar, proporsinya, perpanjangan tungkai, surai, ekor, kepala yang menakutkan dan fantastis menatap Anda dengan mata berputar dan mulut terbuka, adalah karya dari seniman yang luar biasa dan berbakat. Sayangnya saat kunjungan J.W. Ijzerman pada 1885-1886, jejak dari Candi Singo berikut kedua candi lain sudah semakin sedikit.
Runtuhnya sejumlah candi pada abad ke-19 adalah sebuah hal yang biasa terjadi. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Bisa bencana alam maupun tidak lagi digunakan atau ditinggal oleh masyarakat pendukungnya. Kedua faktor tersebut adalah penunjang utama. Faktor pendukung lainnya adalah saat candi sudah runtuh, batu dan arca akan diambil oleh masyarakat lokal, bangsawan dan orang Eropa.
Hilangnya jejak sebuah candi tidak hanya terjadi pada Candi Singo. Di Provinsi Jawa Tengah juga ada candi yang hilang jejaknya. Salah satunya adalah Candi Kalongan, lokasinya berdekatan dengan Candi Sojiwan. Catatan mula mula dari candi ini berasal dari tulisan Colin Mackenzie, yang berjudul Narrative of a Journey to Examine The Remains of and Ancient City and Temples at Brambana In Java (1812). Tulisan ini tidak menyebutkan nama detail dari bangunan yang dikunjunginya. Tulisan ini juga menjadi sumber data dari karya Raffles, The History of Java (1817). Di dalam buku ini Raffles menulisnya sebagai Candi Kebondalem.

Peta Candi Kalongan dari J.W.Ijzerman
Berbeda dengan Candi Singo yang hanya memiliki satu referensi detail, Candi Kalongan ini sempat dibahas beberapa kali, bahkan hingga awal abad ke-20. Ini tertera dalam Rapporten van de Commissie in Nedelandsch-Indie voor Oudheidkundig Onder Op Java en Madoera 1909 dan Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie (ROD) 1915. Meskipun di dalam keduanya dokumen tersebut, Candi Kalongan disebut sudah tersisa reruntuhan saja. Bahkan N.J Krom dalam Inleiding tot de Hindoe-Javaansche kunst (1920) membuat sedikit penjelasan tentang candi ini, agar tidak tertukar posisinya dengan candi Sojiwan. Beruntunglah ketika catatan sebuah candi masih bisa ditemukan. Setidaknya itu bisa menjadi bukti eksistensi dari candi tersebut, meski saat ini jejaknya telah hilang sama sekali.
Kontributor : Shinta Dwi Prasasti
Kategori Berita dan Pengumuman
Berita dan Pengumuman Terkini
Hubungi Kami
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X
-
Jalan Yogya-Solo Km.15, Bogem, Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571
-
bpk.wil10@kemenbud.go.id
-
-
-
(0274) 496019, 496419, 496413, 373241, 379308